Sepanjang sejarah berbagai masyarakat di Kepulauan Nusantara, konstruksi sosial gender senantiasa beraneka ragam, tidak melulu lelaki dan perempuan saja. Individu yang terlahir sebagai lelaki biologis tidak semuanya tunduk pada konstruksi gender lelaki secara sosial-budaya. Mereka memilih atau mengkonstruksi sendiri perilaku dan identitas gendernya, dan masyarakat pun dengan berbagai derajat penerimaan mengenali mereka sebagai banci (Melayu), bandhu (Madura), calabai (Bugis), kawe-kawe (Sulawesi umumnya), wandu (Jawa) dan istilah-istilah lainnya yang belum semuanya dikenali bahkan oleh para peneliti gender dan seksualitas pun, namun memang ada dan dikenali oleh masyarakat setempat. Belum lagi adanya orang-orang yang interseks, yang dalam derajat tertentu memiliki (sebagian) ciri-ciri kelamin biologis lelaki dan/atau perempuan dalam berbagai kombinasi, yang acapkali disebut juga dengan istilah-istilah tadi (Oetomo, 2006).
Begitu pula di dalam kebudayaan masyarakat Sulawesi Selatan (secara umum) dan Makassar (secara khusus), ada orang-orang yang berkonstruksi gender yang tidak sesuai dengan kerangka hegemonik yang ditentukan oleh negara, agama, budaya, bahkan juga ilmu pengetahuan, yang hanya mengakui dua gender (tak kompleks): lelaki dan perempuan. Konstruksi gender yang lain tersebut dapat kita kenali sebagai tomboy dan waria misalnya (serta identitas seksual lain yang tidak sempat kita kenali). Dan dalam kenyataannya, mereka ada dan bertahan hingga sampai sekarang ini.
Keberadaan kaum waria di tengah masyarakat kita kini bukan merupakan hal yang asing lagi. Meski tidak termasuk ke dalam salah satu identitas gender normatif (laki dan perempuan), namun hampir setiap orang pasti mengenal waria (wanita - pria). Secara sederhana, waria diketahui sebagai individu yang memiliki jenis kelamin laki-laki tetapi berperilaku dan berpakaian seperti layaknya seorang perempuan. Waria merupakan kelompok minoritas dalam masyarakat, namun demikian jumlah waria semakin hari semakin bertambah, terutama di kota-kota besar seperti kota Makassar. Bagi penulis, waria (dalam banyak hal) merupakan suatu fenomena yang menarik untuk dikaji karena dalam kenyataannya, tidak semua orang dapat mengetahui secara pasti dan memahami mengapa dan bagaimana perilaku waria dapat terbentuk.
Konstruksi tentang waria yang selama ini berkembang dimasyarakat dianggap sangat menjijikkan. Waria tidak saja dianggap sebagai identitas gender yang otonom, lepas dari konstruksi laki-laki dan perempuan, tetapi lebih dari itu waria dikonstruksi sebagai bentuk lain yang harus dibunuh. Salah satu dasar waria harus dilarang adalah bahwa dalam perspektif banyak agama keberadaan mereka tidak diakui. Pemahaman atas teks agama selama ini tentang waria memang sangat tidak mengakomodasi keberadaannya. Waria oleh agama-agama (khususnya Islam) dianggap sebagai kelainan seksual sekaligus kelainan sosial (penyakit masyarakat) yang harus diberantas. Tafsir tunggal berbagai agama dalam kehidupan bentuk yang heteroseksual jelaslah tidak menyediakan tempat bagi munculnya gerakan homoseksual yang menjadi kebiasaan kaum waria selama ini.
Buntutnya, keberadaan waria dianggap sebagai sosok yang menyalahi kodrat, sehingga pada akhirnya berbuah penolakan. Tidak hanya itu, waria juga dianggap sebagai perusak moral bangsa, sehingga harus dijauhkan dari kehidupan masyarakat umumnya dan tentu saja yang masuk dalam hegemoni wacana seks tunggal. Atas dasar ini pula, aparatur ideologi/represi negara yang dalam bentuknya seperti Polisi, Satpol PP, atau Dinas Sosial kerapkali melakukan operasi penggerebekan terhadap pangkalan waria saat mereka beroperasi. Bahkan dalam banyak kasus, seperti belakangan ini yang terjadi, atas klaim penertiban sosial, banyak PSK, dan waria mengalami tindak kekerasan oleh aparat negara saat terjadi operasi. Kadang-kadang Satpol PP melakukan sweeping dengan cara yang kurang santun dan menjadi santapan empuk bagi media massa untuk menayangkan peristiwa tersebut dengan cara yang kurang mengindahkan etika penyiaran. Di layar kaca kita saksikan para waria lari terbirit-birit dikejar hingga masuk ke gorong-gorong dan tempat sampah untuk bersembunyi. Peristiwa tersebut akhirnya di konsumsi oleh jutaan masyarakat penikmat tontonan layar televisi dan menghegemoni masyarakat hingga terbentuklah citra sesuai dengan pilihan ketidaksadarannya bahwa waria adalah komunitas yang selalu identik dengan hal-hal negatif.
Yang lebih disayangkan lagi, beban paling berat di dalam diri seorang waria adalah beban psikologis yaitu perjuangan mereka menghadapi gejolak kewariaannya terhadap kenyataan di lingkungan keluarganya. Perlakuan keras dan kejam oleh keluarga karena malu mempunyai anak seorang waria kerapkali mereka hadapi. Mereka dipukuli, ditendang, diinjak-injak bahkan diancam mau ditembak oleh keluarga sendiri. Meskipun tidak semua waria mengalami hal seperti itu, tetapi kebanyakan keluarga tidak mau memahami keadaan mereka sebagai waria (Oetomo, 2003:290). Perlakuan-perlakuan buruk tersebut serta ketidakbebasan waria mengekspresikan jiwa kewanitaannya memicu mereka untuk meninggalkan keluarga dan lebih memilih untuk berkumpul bersama dengan waria lainnya.
Waria di Indonesia, khususnya di Makassar adalah bagian dari komunitas sub alternatif yang tidak bersuara bebas dalam merepresentasikan kepentingan-kepentingannya, termasuk memperjuangkan kepentingan-kepentingannya dalam kebijakan politik negara. Seiring dengan suasana demokrasi yang berkembang belakangan ini di Indonesia, beberapa kelompok organisasi yang berlatarbelakang wariapun muncul. Organisasi ke-waria-an ini jelaslah hendak memperjuangkan kepentingan-kepentingan kolektif mereka. Sebut saja Gaya Nusantara (di Surabaya), Gaya Celebes (di Makassar), Iwama (Ikatan Waria Malang), FKW (Forum Komunikasi Waria) untuk Jakarta, Iwaba (Ikatan Waria Bandung), Hiwat (Himpunan Waria Jawa barat) serta beberapa organisasi lain yang bermunculan dan konsen memperjuangkan hak-hak kemanusian kelompok marginal ini, setidaknya menyuarakan suara-suara perih kaum waria (secara khusus) dan kaum homoseksual (secara umum) yang selama ini ditindas oleh wacana mainstream (agama dan negara).
Seperti yang telah dipaparkan diatas, berperilaku menjadi waria tentu memiliki banyak resiko. Waria dihadapkan pada berbagai masalah: penolakan keluarga, kurang diterima atau bahkan tidak diterima secara sosial, dianggap lelucon, hingga kekerasan baik verbal maupun non verbal. Penolakan terhadap waria tersebut terutama dilakukan oleh masyarakat strata sosial atas. Oetomo (2003:31) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa masyarakat strata sosial atas ternyata lebih sulit memahami eksistensi waria, mereka memiliki pandangan negatif terhadap waria dan enggan bergaul dengan waria dibanding masyarakat strata sosial bawah yang lebih toleran.
Karena belum sepenuhnya waria diterima dalam kehidupan sosial, hal ini yang menurut Yuni Shara (2007:26) menyebabkan kehidupan waria menjadi lebih terbatas dalam peran dimasyarakat, yang pada akhirnya menyebabkan banyak waria yang mengantungkan hidupnya dengan menjadi pekerja seks (melakukan jasa seksual), ngamen, atau yang berkutat di bidang kecantikan (salon) namun hanya beberapa orang saja yang memang beruntung bisa bekerja di salon atau punya salon sendiri.
Walaupun tidak dapat dipungkiri, mayoritas dari sekian waria sesuai realita yang ada menjadi pekerja seks untuk memenuhi kebutuhan materil maupun biologis dan itu menjadikan pilihan satu-satunya untuk bisa survive demi kelangsungan hidup kesehariannya. Seperti yang bisa kita jumpai ketika pada tengah malam melintasi jalan Jend. Urip Sumoharjo, tepatnya depan Taman Makam Pahlawan, atau tempat-tempat mangkal lainnya dijalan kota Makassar. Citra dunia pelacuran waria kemudian membuahkan pemikiran negatif pada masyarakat, yang akhirnya berujung pada diskonfirmitas akan keberadaannya dalam beberapa faktor, seperti halnya penyempitan kesempatan kerja, gunjingan-gunjingan akan perilaku mereka, serta tuduhan-tuduhan bahwa kaum waria adalah pembawa penyakit menular seksual (HIV/AIDS). Situasi ini terlihat seperti lingkaran setan yang sulit untuk diputuskan kecuali stakeholder kebijakan benar-benar serius memperbaikinya.
Akhirnya pada kenyataan yang ada, sangat sulit bagi ruang sosial kemudian dapat memberikan tempat untuk kehidupan seorang waria. Kehadiran sosok waria masih diterima secara dilematis, di satu sisi diterima namun di sisi yang lain mereka ditolak. Pada akhirnya, menjadi sosok waria di kota Makassar merupakan sebuah proses negosiasi terhadap lingkungan yang tiada akhir. Seorang waria diterima atau ditolak di dalam masyarakat akan sangat ditentukan dari bagaimana mereka membangun negosiasi dengan masyarakat untuk menjadi bagian dari lingkungan sosial itu sendiri. Sehingga keputusan masyarakat untuk menolak atau menerima kehadiran waria, pada akhirnya ditentukan oleh kemampuan seorang waria, baik secara individual maupun kolektif dalam mempresentasikan perilakunya sehari-hari.